Pemilihan solven umumnya dilakukan sesuai dengan tujuan absorpsi, yakni diantaranya:
· Jika tujuan utama operasi untuk menghasilkan larutan yang spesifik, maka solven ditentukan berdasarkan sifat dari produk. Sebagai contoh : produksi asam hidroklorida.
· Jika tujuan utama adalah mengilangkan kandungan tertentu dari gas, maka ada banyak pilihan yang mungkin. Air, misalnya, adalah solven yang paling murah dan sangat kuat untuk senyawa polar
Terdapat beberapa hal lainnya yang perlu kita pertimbangkan dalam memilih solven, yaitu:
1. Kelarutan Gas
Kelarutan gas harus tinggi sehingga meningkatkan laju absorpsi dan menurunkan kuantitas solven yang diperlukan. Umumnya pelarut (solvent) yang memiliki sifat yang sama dengan bahan terlarut akan mudah dilarutkan. Jadi minyak hidrokarbon dan bukan air akan sangat baik digunakan untuk mengabsorpsi benzene dari gas-gas coke-oven, misalnya. Jika gas larut dengan baik dalam fraksi mol yang sama pada beberapa jenis solven, maka kita harus memilih solven yang memiliki berat molekul yang kecil, dengan demikian kita akan dapatkan fraksi mol gas terlarut lebih besar. Jika reaksi kimia terjadi dalam proses absorpsi, maka umumnya kelarutan akan sangat besar. Namun bila pelarut akan direkover, maka reaksi tersebut harus dapat balik (reversible). Sebagai contoh, kita dapat menggunakan etanolamina untuk mengabsorpsi hydrogen sulfide dari campuran gas karena sulfide tersebut sangat mudah diserap pada suhu rendah dan dengan muda dilecut (stripped) pada suhu tinggi. Sebaliknya, soda kaustik tidak kita gunakan walaupun sangat mudah menyerap sulfide, karena ia tidak dapat dilecuti dengan operasi stripping.
2. Volalitas
Pelarut harus memiliki tekana uap yang rendah karena jika gas yang meninggalkan kolom absorpsi jenuh dengan pelarut, maka akan ada banyak solven yang terbuang. Jika diperlukan, kita dapat menggunakan cairan pelarut kedua, yaitu yang volatilitasnya lebih rendah untuk menangkap porsi gas yang teruapkan. Aplikasi bagian rekoveri ini umumnya pada penghilangan minyak dimana terdapat menara absorpsi hidrokarbon yang menggunakan pelarut hidrokarbon yang cukup volatile dan di bagian atas digunakan minyak tak volatile untuk merekoveri pelarut utama. Demikian juga halnya dengan hydrogen sulfide yang diabsorpsi dengan natrium fenolat lalu direkoveri pelarutnya dengan air.
3. Korosivitas
Material bangunan menara dan isinya sedapat mungkin tidak dipengaruhi oleh sifat solven. Solven atau pelarut yang korosif dapat merusak menara dan oleh sebab itu memerlukan material menara yang mahal atau tidak mudah dijumpai (untuk maintenance perlu dipertimbangkan material local) dan karenanya kurang disukai.
4. Harga
Seperti juga sudah sedikit dibahas di bagian sebelum ini, penggunaan solven yang mahal dan tidak mudah terekover akan meninggalkan biaya operasi menara absorber.
5. Ketersediaan
Ketersediaan pelarut di dalam negeri akan sangat mempengaruhi stabilitas harga pelarut dan biaya operasi secara keseluruhan.
6. Viskositas
Viskositas pelarut yang rendah amat disukai karena akan terjadi laju absorpsi yang tinggi, meningkatkan karakter flooding dalam menara, jatuh-tekan yang kecil dan sifat perpindahan panas yang baik.
7. Lain-Lain
Sebaiknya pelarut tidak memiliki sifat meracuni, mudah terbakar, dan sebaliknya pelarut stabil secara kimiawi dan memimiliki titik beku yang rendah
Source : Gozan, misri, 2006
Source : Gozan, misri, 2006
Post A Comment:
0 comments: